![]() |
Ilustrasi seseorang sedang melihat jam (Foto: Freepik.com) |
Indonesia memiliki banyak keberagaman, salah satunya dalam
hal kebudayaan. Di Indonesia, masyarakat menunjukkan karakteristik dan
kebiasaan unik yang berbeda-beda, salah satu fenomena yang menonjol yaitu
budaya telat atau biasa disebut "ngaret". Fenomena ini telah menjadi
bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial di Indonesia. Namun, sebagai
seseorang yang telah lama mengamati dan mempelajari budaya serta kebiasaan ini,
saya merasa sudah saatnya kita menilai kembali kebiasaan ini dan memahami
dampak negatifnya terhadap kehidupan pribadi dan profesional.
Sebagai contoh, Yeyentimalla Edison, seorang dosen di
Poltekkes Kemenkes Palangkaraya yang mendapat gelar doktor di Universitas
Gadjah Mada, sering mengamati perilaku mahasiswa yang datang terlambat lalu
besoknya terlambat lagi dan hanya berkata mohon maaf. Kebiasaan ini tidak hanya
mengganggu jalannya perkuliahan, tetapi juga mencerminkan kurangnya penghargaan
terhadap waktu orang lain. Yeyentimalla Edison mengungkapkan bahwa para pelaku
kebiasaan terlambat tidak menyadari bahwa ini buruk bagi kesan diri mereka.
Mudahnya meminta maaf ketika terlambat membuat mereka cenderung mengulangi
kesalahan yang sama.
Sebagai seseorang yang memahami pentingnya disiplin waktu,
saya dapat menegaskan bahwa konsistensi dalam menghargai waktu adalah kunci
keberhasilan. Datang sebelum waktu yang dijanjikan adalah salah satu cara
menunjukkan bahwa kita dapat dipercaya. Ketika seseorang datang duluan tanpa
memberitahu, menunggu dengan tenang tanpa mendesak orang lain, dia menunjukkan
bentuk penghargaan terhadap dirinya sendiri dan mitranya. Siapa yang tidak
melakukannya, sebenarnya tidak menghargai dirinya sendiri. Keberuntungan jarang
terjadi pada orang yang tidak tahu menghargai dirinya.
Budaya "ngaret" di Indonesia bisa dijelaskan
melalui konsep waktu yang sangat longgar. Misalnya, penyebutan waktu yang tidak
spesifik seperti "abis maghrib" atau "abis isya"
memungkinkan orang untuk memperpanjang waktu sesuka hati. Hal ini diperparah
oleh sikap segan untuk menegur orang yang terlambat, yang akhirnya membuat
kebiasaan ini berulang tanpa ada perbaikan. Pengamatan saya terhadap mahasiswa
dan masyarakat umum menunjukkan bahwa banyak yang menganggap kebiasaan terlambat
ini sebagai hal yang biasa, sering kali menggunakan alasan ketiduran.
Melihat budaya "ngaret" ini terus berlanjut tanpa
perubahan, saya merasa kesal dan kecewa. Tidak ada penghargaan untuk mereka
yang disiplin, sehingga semua menjadi "bodo amat". Ini adalah sikap
yang sangat disayangkan dan harus diubah.
Sebagai seorang yang memahami betapa pentingnya waktu, saya
menekankan bahwa kita harus mulai dengan diri sendiri untuk mengatasi budaya
"ngaret". Menghargai waktu dan datang tepat waktu sepenuhnya ada dalam
kendali kita. Ini bukan hanya tentang menjaga jadwal, tetapi juga tentang
menunjukkan rasa hormat dan membangun hubungan yang kuat dengan orang lain.
Ketika kita konsisten, kita menunjukkan bahwa kita dapat dipercaya dan ini akan
membuka banyak peluang dalam kehidupan pribadi dan profesional kita.
Ketika saya datang lebih awal ke suatu pertemuan, saya tidak
memberitahu siapa pun bahwa saya sudah tiba. Saya menunggu dengan tenang dan
tidak mendesak orang lain. Ketika mitra saya tiba, mereka akan melihat saya
sudah ada dan saya menyambut mereka dengan riang. Sikap ini membuat saya
memiliki banyak hubungan kuat dan istimewa. Ini adalah bukti nyata bahwa
menghargai waktu membawa dampak positif yang signifikan.
Budaya "ngaret" adalah salah satu kebiasaan yang
bisa kita ubah untuk membangun masyarakat yang lebih disiplin dan saling
menghargai. Saya mengajak Anda untuk mulai dengan diri kita sendiri, menghargai
waktu dan menunjukkan bahwa kita adalah orang yang dapat dipercaya.
Keberhasilan dan keberuntungan akan lebih sering menghampiri mereka yang tahu
cara menghargai diri dan waktu mereka.
Dengan memahami dan mengatasi kebiasaan "ngaret",
kita tidak hanya meningkatkan kualitas hidup kita sendiri tetapi juga membangun
budaya yang lebih baik untuk generasi mendatang. Mari kita bersama-sama
menghargai waktu dan menunjukkan bahwa kita bisa menjadi masyarakat yang lebih
disiplin dan profesional.
Post a Comment